KEBAHAGIAAN ADALAH DARI NURANI YANG IKHLAS MENJALANKAN TUGAS PENCIPTA DIRI DAN ALAM RAYA INI

Sabtu, 02 April 2011

Case Study

      

BERLATIH MENGENDALIKAN DIRI DEMI SISWA, DALAM MENGAJAR DI KELAS I
Oleh : Mustinah, S.Pd.SD
Guru SD N 03 Pododadi

Mengajar kelas I SD merupakan hal yang baru bagi saya, karena walaupun sudah mengajar selama 14 tahun saya belum pernah mengajar di kelas I, 90 % dari masa kerja tersebut saya mengajar di kelas V, selebihnya di kelas III dan VI.
Pada awal saya masuk ke kelas I semua siswa tenang memperhatikan saya mungkin mereka merasa takut dengan saya karena belum kenal. Sedangkan dalam hati saya tidak tahu harus mengucapkan apa, dan dengan nada yang seperti apa. Karena mengajar kelas tinggi tentunya berbeda dengan mengajar kelas rendah. Dalam benak saya muncul bagaimana cara menekan suara saya agar tidak keras, padahal sudah “paketan” dari sang Pencipta tentang nada tinggi saya, tapi saya harus memperhalusnya agar siswa kelas I tidak takut kepada saya. Jangan-jangan besok pagi tidak ada yang mau berangkat ke sekolah kalau suara saya tinggi. Bagaimana dengan kata-kata saya yang terlalu cepat? Bagaimana cara  menekan agar tidak cepat, kalau bisa menjadi lambat dan berulang-ulang? Bukankah seperti itu seharusnya yang diterapkan di kelas I agar mereka bisa mengikuti pembelajaran dan tidak semakin bingung.
Berbagai permasalahan muncul berjubel dalam benak saya, tetapi saya tebarkan sebuah senyuman dulu kepada anak-anak kelas I. Alhamdulillah mereka membalas senyuman saya, wah pertanda bagus ini, pikir saya.
Setelah mengucapkan salam, mengabsen sekaligus bekenalan, sambil saya selingi dengan canda tawa agar mereka tidak takut, agar mereka tidak tegang, barulah saya memulai pelajaran Matematika tentang bilangan 1-5.
Muncul permasalahan lagi dalam pikiran saya, bagaimana cara menjelaskan kepada anak kelas I tentang bilangan? Apakah saya cukup menuliskannya di depan kelas bialngan 1-5? Ataukah bagaimana?
Manalah mungkin mereka memahami bila saya langsung menuliskan bilangan 1-5 di depan kelas. Konsep ini harus benar-benar dipahami oleh siswa.
Seketika muncul ide membawa anak bermain dengan kerikil di depan kelas. Inilah kelemahan saya yang mengajar tanpa persiapan terlebih dahulu. Walaupun awal masuk, awal tahun ajaran toh seharusnya saya membuat perencanaan jadi telah siap cara mengajar di kelas I.
Siswa saya ajak ke luar kelas untuk bermain dengan kerikil yang banyak bertebaran di halaman sekolah. Kebetulan waktu itu musim kemarau jadi halaman tidak becek.
“Anak-anak, bu guru mempunyai kerikil,” saya mengangkat satu kerikil dan mereka melihatnya.
“Ada berapa kerikil yang ibu pegang ini ya..?”
“Satu bu..” jawab mereka. Wah mereka sudah mengenal bilangan satu. Mungkin waktu di TK sudah diajari tentang itu.
Begitu seterusnya saya menggunakan kerikil untuk mengenalkan bilangan 1-5 yang sebagian besar siswa sudah bisa menyebutkannya. Tapi entah apakah mereka bisa menuliskannya?
Setelah 30 menit bermain dengan kerikil di depan kelas, maka atas perintah saya siswa membawa masuk 5 kerikil untuk digunakan bermain di dalam kelas. Saya menggunakan istilah bermain kepada anak-anak agar anak-anak merasa nyaman dengan pelajaran matematika.
Dengan menggunakan kerikil itu pula mereka saya arahkan untuk menuliskan lambang bilangan 1-5. Pertama saya menunjukkan kerikil 1 kemudian siswa menyebutkan nilainya, dan saya memberi contoh menuliskan lambang bilangan 1. Sebagai langkah awal saya menuliskannya hanya dengan gerakan lambang bilangan 1 di udara sambil ditirukan mereka, sampai mereka paham benar cara menuliskan lambang bilangan satu. Setelah benar langkah mereka menuliskan lambang bilangan satu, maka saya bimbing mereka menuliskannya di buku tulis mereka masing-masing.
Demikian pembelajaran berlangsung sampai lambang bilangan 5, sambil sesekali saya selingi dengan menyanyikan lagu, “Satu-satu aku sayang Ibu”.
Pengalaman mengajar di kelas satu adalah pengalaman yang sangat berharga bagi saya, karena saya harus bekerja ekstra untuk menekan nada suara saya yang tinggi dan berlatih berbicara dengan pelan jangan terlalu cepat.
Pembelajaran saya akhiri dengan menyanyikan lagu “Satu-satu Aku Sayang Ibu”.
Mereka pun ke luar ruangan dengan wajah besinar, dan samar-samar saya masih mendengar lagu Satu-satu aku sayang Ibu dinyanyikan terus sambil jalan walau dengan suara tak keras. Itu pertanda mereka nyaman mengikuti pembelajaran.
Alhamdulillah.

Tidak ada komentar: